Oleh : Lies Emmawati Hadie*, Wartono Hadie*, Ketut
Sugama*, Nurbakti Listyanto*, dan Yayan Hikmayani**
ABSTRAK
Kajian dilakukan terhadap sistem produksi budidaya red-claw yang mencakup variabel teknis dan sosial ekonomi. Dalam kegiatan ini diuji sistem produksi
benih secara out-door dan in-door. Sarana yang digunakan dalam perbenihan secara indoor
adalah akuarium yang berjumlah 24 buah dengan ukuran 40x30x80 cm. Sistem
perbenihan secara out-door dilakukan
di kolam tanah berdinding beton dengan luas kolam 300 m2. Kajian
sosial-ekonomi dilakukan dengan metode PRA, pengumpulan data dan informasi dari
hasil penelitian serta melalui survey. Analisis data meliputi analisis
deskriptif terhadap status pasar dan kendala dalam pemasaran. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sistem perbenihan red-claw dapat dilakukan secara in-door dan out-door.
Sistem in-door hanya memerlukan investasi yang relatif kecil, dan sistem out-door dapat diaplikasikan untuk
wilayah yang memiliki kualitas air yang memadai.
Key words : production system, red-claw, socio-economic
Abstract
: Assessment of Production System for Red-claw
Culture to Support the Fisheries
Revitalization Programme. By:Lies Emmawati Hadie*, Wartono Hadie*,Ketut Sugama*,
Nurbakti Listyanto*, and Yayan Hikmayani**
Assessment
was conducted production system of red-claw that to cover the variable of technical
and socio-economic. The activities were
examined the production system by in-door
and out-door. The facilities were used some aquaria in size 40x30x80 cm to the amount
of 24 for in-door system. Out-door system were conducted in earthen ponds with concrete
wall in size 300 m2. Assessment of socio-economic was condected to PRA methode,
data collection and information from research and survey. Data analysis to enclose
descriptive analysis to market status and problems in marketing. Result of the assessment
indicated that low investmen to in-door system, and out-door system could be
applicated for area that they have a good quality.
*Peneliti pada Pusat Riset
Perikanan Budidaya
** Peneliti pada Balai Besar
Sosial Ekonomi
Negara Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia yaitu pada urutan kedua setelah Brasilia. Salah
satu hal yang menarik adalah keanekaragaman ikan mencapai 37 % dari total jenis
ikan di dunia ( Primack et al,
1998). Kekayaan berbagai jenis ikan ini merupakan sumberdaya
penting bagian kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan masyarakat Indonesia maupun bagi masyarakat
secara keseluruhan . Diperkirakan
sekitar 40 juta orang Indonesia
yang hidupnya ditopang langsung oleh keanekaragaman hayati, yaitu dengan
menggantungkan hidupnya pada hutan, sumberdaya pesisir dan laut maupun
pertanian. Masyarakat menggunakan lebih dari 6000 spesies tanaman dan hewan
dalam menopang kehidupan sehari-hari. Bagi negara, keanekaragaman hayati adalah sumberdaya yang mempunyai arti
ekonomi penting. Sektor perikanan
Indonesia menyumbangkan sekitar US$ 1.570.353.000 pada tahun 2002 (Direktorat
Jenderal Perikanan, 2002).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, semakin jelas peran
penting keanekaragaman hayati, sehingga upaya konservasinya menjadi agenda
penting untuk di antisipasi. Dalam upaya melestarikan sumberdaya perikanan,
maka kehadiran jenis ikan introduksi
memerlukan pengaturan – pengaturan yang
bersifat kebijakan.
Dewasa ini telah berkembang pembudidayaan jenis lobster air tawar yang di impor dari
Australia. Jenis tersebut adalah Cherax
quadricarinatus yang dikenal sebagai
red-claw karena capitnya yang berwarna merah. Jenis ini memiliki potensi
pasar yang baik, karena dapat dikonsumsi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
lobster hias. Ciri-ciri morfologis lobster air tawar ini adalah warna tubuhnya
hijau kemerahan dan warna dasar bagian atas capit berupa garis merah (Aliah et al, 1983; Atema & Cobbs, 1986 ;
Brummet & Alon, 1994; Rouse & Kahn, 1998 ) . Budidaya red-claw sudah berkembang lama di beberapa negara seperti
Australia, Selandia Baru, Amerika, Eropa.
Di Indonesia sendiri budidaya lobster air tawar baru ramai sejak tahun
2002. Dari potensi yang ada, Indonesia
memiliki jenis lobster yang hidup di perairan sungai Baliem di pedalaman
Papua. Jenis lobster air
tawar tersebut yaitu C. lorentzi,C. monticola dan black tiger. Sedangkan dibanding negara lain seperti
Amerika yang mempunyai hampir 300 spesies, Eropa dengan jenis Astacus astacus, A. torrentium, Selandia
Baru dengan spesies Paranephrops
planifrons dan P. zelandicus dan
Australia merupakan negara paling kaya dengan jenis lobsternya karena terdapat
hampir 100 spesies yang masuk famili Parastacidae.
Berdasarkan hasil riset telah diketahui bahwa budidaya
terpadu Cherax quadricarinatus
dan C. albertisi dengan padi mampu mencapai bobot 40 gram selama 90
hari. Budidaya terpadu ini dapat dikembangkan tanpa mengganggu pertumbuhan padi
(Ahmad & Sofiarsih,2005).
Ditinjau dari segi budidaya Cherax sp merupakan spesies yg mempunyai potensi geografis yg
luas, siklus hidupnya sederhana, dan kebutuhan pakannya ekonomis, karena tidak
memerlukan protein yg terlalu tinggi (Jones,2005). Tantangan untuk industri
budidaya Cherax sp adalah meningkatkan produksi dengan cara ekspansi dan
investasi baru agar mampu mencapai volume produksi dengan jumlah yg mencukupi
untuk di ekspor secara konsisten (Dauh, 2005).
Sehubungan dengan kebijakan pemerintah dalam
merevitalisasi perikanan belum memperlihatkan hasil yang signifikan sampai saat
ini . Kondisi ini membutuhkan rancang
tindak yang progresif dan bersifat menyeluruh dari aspek-aspek yang terkait di
dalamnya.
RENSTRA dari Departemen
Kelautan dan Perikanan bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang diinginkan yaitu
ikut mendorong tercapainya sasaran pembangunan kelautan dan perikanan,
sekaligus mengantisipasi dinamika dan perkembangan situasi dan kondisi dalam
negeri, lingkungan strategis, dan kecenderungan global yang berubah dengan
cepat.
Pembangunan perikanan menjadi “prime mover”
(penggerak utama) terlebih lagi dalam
situasi krisis ekonomi, usaha perikanan mampu bertahan, bahkan dapat
menyumbangkan penerimaan devisa negara, utamanya usaha yang menghasilkan
komoditas ekspor. Komoditas red-claw merupakan salah satu komoditas yg
dapat diekspor.
Penelitian bertujuan untuk
melakukan identifikasi masalah
krusial dalam manajemen usaha budidaya red-claw yang berpotensi untuk di ekspor. Disamping itu juga untuk memperoleh
model pengelolaan yg efisien dalam sistem
produksi budidaya jenis tersebut.
Sasaran dari penelitian ini adalah terwujudnya peningkatan produktivitas red-claw yg mampu memberikan kesempatan
kerja bagi masyarakat, membantu program pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat.
BAHAN DAN METODE
Kajian terhadap sistem produksi budidaya red-claw dilakukan dengan aplikasi
teknik budidaya dengan menguji dua model sistem perbenihan yaitu :
1. Sistem perbenihan red-claw
secara indoor hatchery
2. Sistem perbenihan red-claw
secara out door
Kegiatan riset dilaksanakan di BBI Pesiapan, kabupaten Tabanan, Bali pada
tahun 2007
Sistem perbenihan Red-claw
secara indoor hatchery
Sarana yang
digunakan dalam perbenihan secara indoor adalah akuarium yang berjumlah
24 buah dengan ukuran 40 x 30 x 80 cm. Sistem pemeliharaan benih Cherax sp. dilaksanakan dengan resirkulasi yang menggunakan filter.Rangkaian
sistem resirkulasi yang dibuat terdiri dari bak kayu, dan filter yang digunakan
adalah filter yang bersifat mekanis seperti koral, ijuk dan serat fiber yang halus.
Sistem resirkulasi yang dibuat juga dilengkapi dengan tower plastik dan pompa air sebagai tenaga penggerak air (
gambar 1).
Sistem perbenihan Red-claw secara
out door
Sarana yang
digunakan dalam perbenihan secara outdoor adalah kolam tanah. Penelitian
ini menggunakan dua buah kolam dengan ukuran 300 m 2. Dinding kolam
terbuat dari tembok dan bagian dasar kolam berupa tanah. Sumber air kolam
berasal dari sungai.
Hewan uji
Induk-induk yang digunakan dalam penelitian adalah
indukan dari strain Walkamin yang didatangkan langsung dari Cherax Park, Australia, serta koleksi indukan Bolangan F1 dan indukan
koleksi Mengwi F1. Kisaran
bobot induk yang dipijahkan adalah 45 gram – 100 gram dengan ukuran panjang 14
cm – 15.5 cm.
Gambar 2. Koleksi induk-induk red-claw yang digunakan sebagai hewan
uji.
Kajian implikasi
pengembangan budidaya secara sosial - ekonomi
Dampak sosial-ekonomi
udang introduksi dilakukan dengan menggunakan metode PRA, pengumpulan
data dan informasi dari hasil penelitian serta melalui survey. Keragaan usaha budidaya yang akan dikaji membahas tentang
bagaimana budidaya lobster jenis red-claw
ini diusahakan oleh masyarakat. Keragaaan pemasaran akan mengevaluasi kelembagaan pemasaran yang terlibat, daerah
pemasaran serta saluran pemasaran.
Data yang di gunakan dalam penelitian terdiri dari
data primer dan sekunder. Data primer di
peroleh dari hasil wawancara dengan
responden yaitu petani pembenih, pendeder dan pembesaran yang ada
dilokasi. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
dan Propinsi. Data primer meliputi data
yang terkait dengan usaha budidaya, informasi harga, lokasi pasar, serta kelembagaan yang terlibat dalam usaha
budidaya dan pemasaran red-claw serta
permasalahan yang ada dalam usahanya.
Data sekunder meliputi data produksi yang diperoleh dari laporan Dinas
Kelautan dan Perikanan tingkat propinsi dan kabupaten. Metode penelitian yang
digunakan yaitu studi kasus. Pengambilan responden menggunakan teknik purposive sampling yang didasarkan pada
kriteria-kriteria tertentu. Untuk
responden pembudidaya dipilih yang membudidayakan pada tahap pembenihan,
pendederan dan pembesaran, serta bagi pelaku pasar dipilih pelaku yang terlibat
baik langsung ataupun tidak langsung dengan pembudidaya yang ada dilokasi.
Data yang diperoleh, kemudian diolah dan dianalisis
untuk mencapai tujuan penelitian.
Analisis data meliputi analisis deskriptif terhadap status pasar dan
kendala dalam pemasaran. Analisis pemasaran dilakukan secara
deskriptif untuk melihat saluran pemasaran serta lembaga pemasaran yang
terlibat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem
produksi perbenihan red-claw secara in door
Data pertumbuhan benih red-claw hasil perbenihan
secara in-door seperti yang tertera
di dalam Tabel 1.
Tabel
1. Data pertumbuhan rata-rata bobot (gr), panjang total+sd (cm),
dan
coefisien variasi (%) benih red-claw secara indoor selama 30 hari
masa pemeliharaan (Siklus 1).
Indukan |
Rata-rata bobot
(gr)
|
Pj.total+ Sd
(cm)
|
Coefisien Variasi (%)
|
Bolangan F1- A8
|
0.052
|
1.46 +
0.1956
|
7.4642
|
Bolangan F1- A11
|
0.125
|
1.93 +
0.4000
|
4.825
|
Bolangan F1- A12
|
0.093
|
1.43 +
0.2106
|
6.790
|
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diatas, maka dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan red-claw relatif cukup baik. Namun terlihat
indikasi adanya variasi pertumbuhan benih yang dihasilkan oleh indukan yang
berbeda. Indukan yang benihnya dipelihara secara indoor menunjukkan variasi
yang cukup besar dalam pertumbuhan bobot badan serta panjang total. Berdasarkan
hasil obervasi selama satu bulan terlihat bahwa pertumbuhan benih tidak
mengalami hambatan yang berarti.
Data indukan
red-claw yang meliputi
bobot,panjang total, fekunditas dan hatching
rate secara lengkap seperti yang tertera di dalam Tabel 2.
Tabel 2. Data rata-rata
indukan red-claw strain Walkamin,Bolangan,dan Mengwi yang meliputi
bobot + sd (gr),panjang
total + sd (cm), fekunditas (butir)
dan hatching rate (%).
Strain
|
Rata-rata bobot +Sd (gr)
|
Pj.total+Std.deviasi
(cm)
|
Fekunditas
(butir)
|
Hatching rate
( %)
|
Walkamin
|
59.08 + 1.1
|
13.0 + 6.70
|
465.0
|
32.9
|
Bolangan F1
|
96.76 + 12.1
|
15.32 + 0.82
|
513.0
|
36.06
|
Mengwi F1
|
79.66 + 11.21
|
14.82 +
0.94
|
518.0
|
31.85
|
Sehubungan dengan indukan
Walkamin , karakter fekunditas dan hatching
rate relatif lebih kecil dibandingkan
dengan dengan indukan Bolangan
dan Mengwi. Hal ini disebabkan oleh ukuran rata-rata indukan yang lebih
kecil,sehingga fekunditas dan hatching
rate yang dicapai juga relatif lebih sedikit. Apabila ditinjau dari segi
karakter bobot indukan Bolangan mempunyai rata-rata bobot yang lebih tinggi,
kemudian diikuti oleh indukan Mengwi. Indukan strain Walkamin baru berumur tiga
bulan, sehingga fekunditas belum optimal. Hal ini terlihat dari total
fekunditas dan hatching rate yang
relatif rendah dibandingkan dengan kedua indukan lainnya.
Data pertumbuhan benih Cherax sp secara indoor di dalam siklus yang kedua dicantumkan di
dalam Tabel 3.
Tabel
3. Data pertumbuhan rata-rata benih red-claw
di dalam indoor hatchery
selama 60 hari masa pemeliharaan dengan N = 20 (Siklus II).
Strain
|
Rata- rata bobot + sd (gr)
|
Pj.total + sd (cm)
|
Sintasan +
sd (%)
|
Mengwi F1
|
1.4 +
0.22
|
2.25 + 0.39
|
57.95 +17.32
|
Walkamin
|
0.45+
0.34
|
2.50 + 0.57
|
58.98 +
16.80
|
Bolangan F1
|
1.09 +
0.76
|
3.37 + 0.81
|
40.49 +
9.09
|
Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat dikatakan
bahwa ukuran benih telah mencapai ukuran 1 inci sampai dengan 1 inch-up. Ukuran ini telah dapat
dipasarkan dan siap untuk dilakukan tahap pendederan selama satu bulan untuk
mencapai ukuran 2 inci. Permintaan pasar umumnya berkisar antara 1inci – 2 inch- up.
Sehubungan dengan sintasan yang dapat dicapai relatif
baik dengan kisaran 40.49% - 58.98 %.
Sintasan terbaik dicapai oleh benih hasil indukan strain Walkamin yaitu sebesar
58.98 %, kemudian ranking kedua disusul oleh strain Mengwi F1 yang
mencapai 57.95 % dan Bolangan F1
mencapai sintasan sebesar 40.49 %.
Data kualitas air yang telah diobservasi mencakup 10
parameter yang dicantumkan dalam Tabel 4 sebagai berikut :
Tabel 4. Kualitas air dalam sistem resirkulasi untuk
perbenihan
red-claw secara indoor.
No
|
Parameter
kualitas air
|
Nilai
rata-rata
|
1
|
pH ( keasaman)
|
8.4
|
2
|
kH / Karbonat hardness (o d)
|
7.0
|
3
|
gH/Total
hardness (o d)
|
8.0
|
4
|
Fe/ Besi (mg/l)
|
0.5
|
5
|
NO2/ Nitrit
(mg/l)
|
0.0
|
6
|
NO3/ Nitrat (mg/l)
|
0.0
|
7
|
NH4/ Amonium (mg/l)
|
2.0
|
8
|
NH3 / Amonia (mg/l)
|
0.3
|
9
|
PO4/ Phosphat (mg/l)
|
0.1
|
10
|
Cu / Cuprum (mg/l)
|
0 - < 0.1
|
Berdasarkan data kualitas air yang telah di observasi
tersebut, maka dapat dilaporkan
bahwa kualitas air cukup memadai untuk operasional
kegiatan perbenihan lobster red-claw.
Dalam rangka mengoptimalkan kualitas air, maka dalam sistem resirkulasi yang
menggunakan filter biologis diperlukan waktu agar proses pertumbuhan bakteri
nitrifikasi dapat berlangsung secara optimal.
Sistem
produksi perbenihan secara out door
di kolam
Hasil benih yang
telah diperoleh dengan sistem out door
dikolam dikemukakan datanya di dalam Tabel 5.
Tabel
5. Data panjang total rata-rata +
sd (cm), bobot rata-rata + sd (gr),
panjang
total maksimum (cm), bobot maksimum (gr), koefisien skewness,
koefisien kurtosis benih red-claw yang diperoleh dengan sistem out door
di
kolam tanah (N= 100).
Parameter
|
Nilai
|
Panjang total rata-rata
+ standart deviasi (cm)
Bobot rata-rata + standart deviasi (gr)
Panjang total maksimum (cm)
Panjang total minimum (cm)
Bobot maksimum (gr)
Bobot minimum (gr)
Koefisien skewness
karakter bobot
Koefisien skewness
karakter panjang total
Koefisien kurtosis
karakter bobot
Koefisien kurtosis
karakter panjang total
|
4.86 + 1.36
3.05 +
2.01
7.40
1.80
7.70
0.40
0.36
0.27
0.90
0.98
|
Berdasarkan data tersebut diatas maka terlihat bahwa
sistem perbenihan secara out-door dapat
menghasilkan benih red-claw dengan rata-rata panjang 4.86+1.36 cm.Ukuran
benih yang diperoleh ini telah mencapai ukuran yang dapat dipasarkan. Seperti
telah diketahui bahwa benih dengan ukuran 2 cm – 5 cm atau 1 – 2 inci telah
memenuhi permintaan pasar. Dengan demikian dengan sistem perbenihan secara
out-door dalam waktu satu bulan telah dapat menghasilkan benih berukuran 2
inci.
Apabila
ditinjau dari aspek statistik dari karakter populasi benih yang telah
dihasilkan ,maka nilai koefisien skewness untuk karakter panjang mencapai 0.27
dan karakter bobot adalah sebesar 0.36. Nilai koefisien ini menunjukkan adanya
kecenderungan ukuran panjang dan bobot benih red-claw yang berukuran medium.
Nilai koefisien kurtosis untuk karakter panjang dan bobot mencapai 0.9 – 0.98,
nilai koefisien ini menunjukkan bahwa
populasi benih red-claw memiliki sifat platikurtis. Hal ini mengartikan bahwa
ukuran panjang dan bobot cenderung mencapai nilai rata-rata dan tidak ada
ukuran yang menonjol atau out-layer.
Data kualitas air pada perbenihan red-claw secara out-door dikemukakan secara lengkap dalam tabel 6.
Tabel 6. Kualitas air pada perbenihan red-claw secara out-door selama satu
siklus pemeliharaan .
Parameter
|
Kisaran Nilai
|
Suhu air (oC)
Suhu udara (oC)
pH/keasaman air
pH /keasaman tanah
gH/ Total
hardness (od)
KH / Karbonat hardness (od)
NO2 /Nitrit(ppm)
NO3 /
Nitrat (ppm)
NH3 /Amonia (ppm)
NH4 /Amonium(ppm)
PO4 /
Fosfat (ppm)
Cu / Cuprum(ppm)
Fe / Besi (ppm)
|
26.5 –
31.0
20.0 –
28.0
7.0 –
8.50
7.0
8.0 –
10.0
8.0
< 0.5
<
0.05
<
0.05
<
0.05
0.10-
0.25
0.0
0.1 –
0.5
|
Berdasarkan data kualitas air yang telah di observasi
tersebut, maka dapat dilaporkan bahwa kualitas air cukup memadai untuk
operasional kegiatan perbenihan lobster red-claw.
Kajian
implikasi pengembangan budidaya red-claw
secara sosial - ekonomi
Berdasarkan data yang diperoleh dari survei sosial-
ekonomi, ternyata usaha budidaya lobster air tawar di Bali baru dimulai pada
tahun 2006. Usaha budidaya tersebut baru
dilakukan oleh beberapa orang petani.
Namun berbeda dengan penjelasan dari pedagang ikan (pengepul)
perkembangan perdagangan lobster air tawar ini ntelah dimulai sejak tahun 1998
dan berkembang terus sampai dengan tahun 2002.
Pada tahun 2006,
usaha budidaya khususnya pembenihan udang lobster ini mulai berkembang dan
diusahakan oleh beberapa petani. Sebagai
salah satu program pengembangan usaha lobster air tawar ini, Pemerintah Daerah
Kabupaten Tabanan melalui Dinas perikanannya mengajukan Dana Penguatan Modal
yang di salurkan oleh Dirjen Budidaya dialokasikan bagi calon pembudidaya udang
ini. Calon pembudidaya tersebut sebanyak
15 orang petani yang nantinya akan di prioritaskan pemberian modal usaha untuk
usaha budidaya lobster. Alokasi dana
mencapai Rp. 500 juta dari pusat dan 630 juta dana pendamping dari daerah. Alokasi dana tersebut untuk pembelian pakan
50% untuk pembelian pakan dan sarana produksi dan 625 juta untuk pembelian
benih. Apabila dana tersebut tersalurkan
maka kebutuhan benih udang untuk kelompok dengan perkiraan harga benih Rp.
1000/ekor membutuhkan sebanyak 625.000 ekor.
Apabila diperkirakan SR 70% saja maka akan dihasilkan produksi udang
lobster sebanyak 437500 ekor. Apabila 1 kg 10-12 ekor maka dihasilkan sebanyak
3645 kg. Harga udang konsumsi saat ini
ukuran 10-15 ekor/kg sekitar Rp. 110.000/ekor.
Sebagai langkah awal kegiatan budidaya dilakukan
sosialisasi budidaya kepada calon kelompok penerima dana, berbagai pelatihan
telah diberikan kepada calon pembudidaya tersebut, dan pada Bulan Juni tahun
2007 melakukan studi banding ke lokasi
budidaya lobster yang ada di jawa Timur.
Diharapkan pelatihan serta studi banding yang dilakukan dapat menjadi
bekal bagi usaha yang akan dilakukan nantinya.
Sampai dengan saat survey dilakukan usaha budidaya yang
sudah berkembang dan dilakukan terbatas pada usaha pembenihan saja. Dari hasil
wawancara dengan petani pembenih menyatakan bahwa kebutuhan benih udang lobster
saat ini cukup besar bahkan mereka kadang-kadang tidak mampu memenuhi kebutuhan
permintaan. Hal tersebut didukung oleh
petani yang sedang mencoba usaha pembesarannya yang mendapatkan benih lobster
air tawar tersebut dari Jawa Timur yaitu dari Madiun.
Gambar
3. Adopsi teknologi perbenihan red-claw di
tingkat pembudidaya
skala rumah-tangga di wilayah
kabupaten Tabanan.
Usaha pembesarannya belum berkembang, beberapa petani
yang berada di Kecamatan Panebalan, ada yang sedang mencoba usaha pembesaran
dan baru 2-3 bulan tanam sehingga tingkat keberhasilannya belum dapat
diperkirakan. Usaha pembesaran lobster
air tawar ini dilakukan oleh petani yang rata-rata tingkat ekonominya lebih
baik. Hal ini disebabkan cukup besarnya
investasi yang harus disiapkan untuk pemeliharaan lobster ini. Pertama kolam pemeliharaan sebagian adalah
kolam beton yang nilainya cukup besar.
Kedua, harga benih yang dibeli petani masih lebih tinggi dibandingkan di
jawa Timur yaitu ukuran benih 2 inchi harganya mencapa Rp. 1500/ekor. Ketiga, panen lobster air tawar ini waktunya
agak lama yaitu sekitar 6 bulan sehingga petani harus mempunyai persediaan
keuangan atau usaha sampingan lainnya dan tidak hanya mengandalkan dari usaha
budidaya saja.
Kajian sosial – ekonomi masih akan dikembangkan untuk
sentra perbenihan lobster air tawar Cherax
sp. di daerah Jawa Timur, agar dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap
berkaitan dengan usaha pengembangan Cherax
sp.
Usaha budidaya red-claw pada awalnya dilakukan oleh
penggemar ikan hias. Oleh karena warna kulitnya yang berwarna cemerlang, maka
lobster air tawar ini banyak diminati oleh masyarakat. Pembenihan lobster ini
mulai tahun 2005 banyak diminati oleh masyarakat.
Usaha pembenihannya dilakukan secara backyard hatchery yang dilakukan
dirumah-rumah penduduk atau pengusaha. Wadah yang digunakan berupa akuarium dan
bak beton kecil yang dibuat permanen dengan ukran 4 x 7 m. Teknik pembenihannya
relatif mudah dilakukan dan harga bibit yang cukup tinggi menyebabkan
perkembangan budidayanya begitu peast.
Saat ini terdapat 100 orang lebih yang melakukan pembenihan lobster red-claw di DI Yogyakarta. Namun jumlah
tersebut hanya perkiraan dikarenakan belum adanya data yang akurat tentang hal
itu.
Menurut
ketua asosiasi pembudidaya red-claw
terdapt indikasi adanya pasar yang bersifat
semu. Dalam hal ini permintaan cukup besar terhadap benih ataupun induk
lobster, tetapi ini hanya bersifat sementara, yang pasti pada suatu saat pasar
akan turun dan harganyapun akan turun secara drastis. Salah satu cara untuk
mengatasi yaitu dengan secepatnya memulai
usaha pembesarannya. Sampai saat ini pembesaran red-claw dilakukan petani hanya untuk dijual sebagai induk yang
harganya lebih mahal dibandingkan dijual untuk keperluan konsumsi.. Sebagai
contoh untuk satu set induk ukuran 250 gram yang terdiri dari 3 ekor induk
jantan dan 5 ekor induk betina harganya mencapai Rp. 500.000 –
Rp.700.000,- Harga lobster konsumsi
hanya mencapai Rp.225.000/kg.
Pemasaran
red-claw ini meliputi wilayah
Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa timur. Investasi yang dibutuhkan
untuk 10 set induk saja hanya sekitar Rp.20.000.000,- dan akan kembali modal
dalam satu siklus pembenihan.Satu ekor induk betina mampu menghasilkan kurang
lebih 300 ekor larva. Setelah larva
berumur 1 minggu, maka larva ini mulai mencari makanan. Pakan yang diberikan
kepada larva red-claw berupa cacing
rambut atau pelet. Padat penebaran larav umur 1 – 30 hari mencapai 500 – 1000
ekor/m2. Air media larva harus diusahakan agar tetap bersih. Pemeliharaan benih
dilakukan setelah larva berumur 1 bulan. Perawatan yang harus hati-hati adalah
dalam penanganan kebersihan air. Setiap hari sisa pakan yang mengendap harus
selalu dibersihkan, agar kualitas air tetap optimal.
Seiring dengan perkembangan permintaan pasar,
maka usaha budidaya lobster juga semakin menjanjikan. Permintaan lobster air tawar di dalam negeri
terutama dibutuhkan untuk pemenuhan permintaan rumah makan, hotel, bahkan untuk
pabrik pengalengan. Pasar luar negeri
lobster air tawar yaitu Eropa, Amerika Serikat, Asia Tenggara, Jepang, Korea
dan Taiwán. Rata-rata kebutuhan pasar
mencapai 2000 ton per tahun (Syariefa, 2006). Keragaan usaha budidaya lobster
air tawar tersebut di Indonesia belum banyak diketahui. Namun demikian kenyataan di beberapa wilayah
seperti D.I Yogyakarta budidaya lobster air tawar sudah berkembang dan menjadi
mata pencaharian yang menjanjikan.
Pemasaran
red-claw
Pasar red-claw
dibagi kedalam dua segmen yaitu pasar benih dan pasar induk. Pasar benih lobster ditujukan untuk pemenuhan
kebutuhan permintaan konsumen terhadap lobster ukuran 1- 2 inchi yang digunakan
sebagai ikan hias. Segmen pasar lainnya
yaitu penjualan induk lobster yaitu untuk pemenuhan kebutuhan petani pembenih
dengan ukuran lobster yang dijual mulai dari ukuran 7 cm.
Pemasaran lobster ukuran benih meliputi lokasi pasar di
Yogyakarta dan luar seperti Klaten,
Solo, Tegal, Jakarta, Lampung, Ambon, Surabaya, Semarang. Harga lobster ukuran 1 inchi dijual Rp. 1000
-1500/ekor, sedangkan ukuran 2 inchi
2500/ekor. Pembelian benih
lobster dari petani pembenih melalui pedagang pengumpul yang kemudian membawanya
langsung ke pasar ikan hias, sedangkan untuk di luar Yogyakarta lobster dibawa
ke pasar-pasar ikan hias yang ada di lokasi masing-masing.
Pemasaran lobster ukuran konsumsi, sampai saat ini
masih terbatas pada pemenuhan untuk
induk. Untuk pemenuhan induk saja
menurut salah satu pembenih masih kesulitan karena besarnya permintaan dari
masyarakat. Disamping itu apabila
dibandingkan harga lobster untuk konsumsi dan untuk induk cukup besar dengan
ukuran yang sama. Sebagai perbandingan
apabila lobster dijual untuk konsumsi
maka harga . Harga lobster
tersebut ukuran konsumsi (10-15 ekor/kg) harganya mencapai 225.000/kg atau Rp
175.000/kg untuk ukuran 12-15 ekor/kg. Apabila dijual sebagai induk maka
harganya mencapai Rp.450.000 – Rp. 750.000 per set yaitu untuk 8 ekor induk.
Pemasaran lobster air tawar saat ini masih terbatas di Yogyakarta, Semarang,
Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemasaran lobster air tawar dari Yogyakarta meliputi
pasar di Yogya sendiri, Klaten, Solo, Tegal, Jakarta, Lampung, Ambon, Surabaya,
Semarang. Benih udang lobster yang
dijual dari Jogya kemudian di salurkan ke wilayah- wilayah pasar kemudian
dijual lagi dalam ukuran induk ke
Yogyakarta. Pembelian benih lobster dilakukan oleh pedagang dan
kemudian dijual di pasar ikan hias.
Penjualan induk lobster dilakukan oleh petani pembenih yang langsung
berhubungan dengan penjual.
Dampak penelitian terhadap pengembangan wilayah
Berdasarkan pengkajian yang telah dilaksanakan pada tahun
2006 dan 2007, maka telah diperoleh teknik budidaya red-claw secara indoor dan out-door. Hasil yang diperoleh ini berdampak positif terhadap berkembangnya
usaha budidaya red-claw di
masyarakat. Seperti yang telah dibahas dari aspek sosial-ekonomi bahwa usaha
perbenihan red-claw telah berkembang
pesat. Namun perkembangan tersebut belum
diimbangi dengan usaha pembesarannya. Sehingga terjadi pasar semu yang
akan mengancam keberlanjutan usaha tersebut. Dengan berhasil didapatkannya
teknik pembesaran dikolam, maka implikasinya akan lebih cepat dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dampak dari hasil kaji terap ini mendapat respon yang
relatif cepat dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Tabanan pada tahun 2006. Demikian pula pada tahun 2007/2008 Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Kabupaten Tabanan sebagai sentral
pengembangan red-claw. Respon dari pihak pembudidaya terlihat lebih
realistis dengan dibuka lahan budidaya red-claw
secara swadaya di Tabanan, Karang Asem, dan Gianyar . Dukungan dana PEM tahun
2007 yang dikhususkan untuk budidaya red-claw
di Tabanan pada awalnya diharapkan dapat mempercepat intensitas usaha budidaya di
kawasan tersebut. Namun karena adanya
kebijakan dari Departemen keuangan,maka dana PEM yang di alokasikan sebesar Rp. 1.15 milyar yang diperuntukkan bagi 20
kelompok pembudidaya red-claw di Tabanan
ternyata tidak dapat dicairkan. Hal ini memang menimbulkan kekecewaan di pihak
pembudidaya yang telah menerima pelatihan dan menyiapkan lahannya untuk
budidaya red-claw.
Konsep pola riset pengembangan yang dalam pelaksanaannya
bekerjasama dengan Pemda setempat
terbukti lebih cepat memberikan dampak positif. Pola semacam ini dapat
menjadi pola untuk diterapkan di wilayah pengembangan budidaya lainnya, agar
lebih cepat memberikan dampak yang langsung dapat menyentuh kepentingan
masyarakat luas.
KESIMPULAN
Sistem perbenihan red-claw dapat dilakukan secara in-door dan out-door. Sistem indoor
hanya memerlukan investasi yang
relatif kecil, dan sistem out-door dapat diaplikasikan untuk wilayah yang
memiliki kualitas air yang memadai. Dampak dari hasil kaji terap ini mendapat
respon yang relatif cepat dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan pada tahun 2006. Demikian pula pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Kabupaten Tabanan sebagai sentral
pengembangan red-claw. Kontribusi
yang diberikan oleh adanya
pengembangan budidaya red-claw ini cukup signifikan dan memberikan
dampak yang langsung dapat menyentuh kepentingan masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar