Kamis, 21 November 2013

Mengenal lele Sangkuriang




Sepasang Lele sangkuriang
 Dalam legenda terjadinya Gunung Tangkubanperahu di Jawa Barat, niat pemuda Sangkuriang mempersunting Dayang Sumbi kandas. Adat melarang anak menikahi ibu. Namun bagi lele dumbo Clarias gariepinus aksi itu malah perlu. Itu supaya fekunditas, produktivitas, dan rasio pakan keturunan si dumbo kembali naik daun. Lele yang lahir pun diberi nama sangkuriang.

      Datang sebagai lele introduksi dari Taiwan pada 1984, produktivitas lele dumbo kini terus merosot. Saat pertama kali dibudidayakan, pembudidaya ikan di tanah air bersukacita lantaran untuk mencetak ukuran konsumsi 10-15 ekor/kg didapat lewat budidaya selama 70 hari. Belakangan untuk mencapai ukuran serupa waktunya molor hingga 100 hari. Perkawinan sedarah-inbreeding-ditengarai menjadi pemicu rendahnya laju pertumbuhan.

        Mengatasi pertumbuhan si dumbo yang melambat, munculnya sangkuriang bisa menjadi sandaran baru. Tumbuhnya pesat. 'Dua kali lebih cepat daripada dumbo,' kata Ade Sunarna, peneliti Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang membidani kelahiran sangkuriang saat memberikan pelatihan bagi pembenih ikan di BBI Pesiapan, Tabanan, Bali beberapa waktu lalu.

        Menurut Ade, beberapa kelebihan lele sangkuriang di antaranya adalah untuk mencetak lele konsumsi ukuran 10-15 ekor/kg dapat dicapai setelah bibit berukuran 5-7 cm dipelihara sekitar selama 49-51 hari. Tingkat kematian selama pembesaran juga kecil, kurang dari 10%. Sedangkan dumbo bisa mencapai 20%. Melihat kelebihan itu, di Jawa Barat saat ini lele sangkuriang menjadi primadona menggantikan si dumbo.

Backcross
Adalah Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang membidani kelahiran sangkuriang. Lele berkulit kelabu itu diperoleh dari silangan jantan dumbo generasi ke-6 (F6) dari Majalaya, Jawa Barat, dengan induk betina generasi ke-2 (F2). Jantan F6 dipilih berbobot 0,5-0,75 kg dengan panjang 30-35 cm. Betina F2 bobotnya 0,7-1 kg sepanjang 25-30 cm. Hasil anakan jantan kemudian diseleksi dan dikawinkan kembali dengan betina F2. 'Sangkuriang diperoleh setelah 4 tahun penyilangan,' kata Ade yang juga peneliti lele dari BBPBAT itu.

         Sifat genetik dumbo memang memungkinkan diperbaiki. Fekunditas misalnya, setelah diperbaiki lahir sangkuriang yang mencapai 60.000-80.000 telur/kg bobot induk; dumbo 30.000-50.000. Ini artinya jumlah produksi bibit sangkuriang berlipat dua. Kelangsungan hidup larva juga meningkat 90-95%; dumbo 50-60%. Keunggulan lain, sangkuriang memiliki FCR 0,8. Artinya untuk menghasilkan 1 kg daging dibutuhkan 0,8 kg pakan. Bandingkan dengan FCR dumbo yang lebih dari 1.
 
        Soal daya tahan, sangkuriang mampu meredam serangan bakteri Trichodina sp, Aeromonas hydrophilla, dan Ichthyopthirius sp. Padahal penyakit itu ditakuti peternak karena membuat kulit lele melepuh.
     
     Dengan kelebihan-kelebihan itu sangkuriang direkomendasikan untuk dipelihara oleh para pembudiaya ikan di tanah air guna menggenjot produksi. Bibit lele yang telah dilepas menjadi varietas unggulan nasional ini sudah disebarkan oleh BBPBAT. “Indukan sangkuriang sudah kami sebarkan ke beberapa Unit Pembenihan Rakyat dan Balai Benih Ikan di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Lampung serta beberapa daerah lainnya di Indonesia,” ujar Ade.

      Di Bali, lele sangkuriang juga sudah dikembangkan  seperti diungkapkan oleh I Nyoman Punia, Kepala UPTD BBI Pesiapan. “Kami sudah setahun terakhir ini mengembangbiakkan lele sangkuriang di BBI Pesiapan dan BBI Meliling,” katanya sambil menambahkan, selain mengembangkan lele dumbo dan sangkuriang, BBI di Kabupaten Tabanan juga mulai mengembangkan lele unggul lain yakni lele Paiton dari Jawa Timur dan lele dari Karawang.

      I Made Budiasa. Mantan Kepala BBI Sentral Sangeh yang sekarang menjadi PPL Perikanan di Kabupaten Tabanan menuturkan bila lele sangkuriang saat ini sudah dibudiayakan oleh pembudidaya ikan di seluruh Bali.  “Lele sangkuriang sangat cocok dibudidayakan untuk skala komersial karena produktivitasnya yang tinggi,” ujarnya.

       Meski memiliki tingkat produktivitas tinggi, ternyata lele sangkuriang kurang diminati oleh masyarakat / konsumen di Bali, seperti yang diungkapkan oleh Bu Piem, pengepul ikan di Darmasaba, Badung. “Konsumen kurang suka karena kandungan airnya tinggi sehingga kalau digoreng tidak bisa kering seperti lele dumbo,” kilahnya.
 
       Boleh jadi, karena pertimbangan pasar (permintaan konsumen) tersebut, perkembangan lele sangkuriang di Bali tidak sepesat di Jawa Barat. Di Bali, lele dumbo masih menjadi pilihan utama para pembudiaya ikan. Meski demikian, lele sangkuriang tetap berpeluang dikembangkan untuk mengisi kolam pancing yang belakangan bermunculan dan berkembang pesat di Kabupaten Tabanan.
Selain dibudiayakan di kolam tanah dan bak tembok, lele sangkuriang juga bisa dibongsorkan di kolam terpal seperti yang belakangan bermunculan di Kabupaten Tabanan.

Tidak ada komentar: